Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

SELAMTKAN INSTANSI POLRI DARI KONFIRASI PRAKTEK SINDIKAT MAFIA TANAH

Wednesday 7 February 2018 | February 07, 2018 WIB | 0 Views Last Updated 2018-02-07T14:56:12Z

Opini Interpretatif



Oleh: Saprudin MS. 
(Kuasa Pendamping Mukamad dan Medi) 

Pandeglang, newsskri - KASUS pertanahan Desa Cibingbin, Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten ditangani institusi Kepolisian terkesan dipaksakan sehingga terjadinya penyelanggaraan hukum yang kriminalisasi dan diskriminatif.

Kriminalisasi dan diskriminasi adalah suatu tindakan yang tidak relevan dengan cita-cita reformasi bangsa Indonesi serta melanggar prinsip Negara Hukum yang menganut sistem penegakan hukum yang berasaskan pada  keadaban dan berkeadilan sosial.

Agustus 2015, Nurlaela melaporkan dan mengadukan tindak pidana penggelapan dan perusakan terhadap barang tidak bergerak berupa tanah dan pohon-pohon kayu ke Mapolda Banten, tanda bukti laporan, Nomor: TBL/167//VIII/2015/Banten/SPKT III, tanggal 2 Agustus 2015, dengan terlapornya (1) Mukamad dan (2) Medi. Dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 KUHPidana. Penerapan pasal tersebut tidak relevan dengan laporannya, karena kontek dalam pasal tersebut berupa kejahatan yang dilakukan seseorang atau  kelompok orang pada objek tanah yang belum bersertipikat.

Jelas tercatat dalam bukti laporan itu, Nurlaela menyatakan dirinya punya dua bidang tanah di Blok Bungur Dua, Cibingbin dengan perincian keterangannya sebagaimana tertera dalam buku tanah atau sertipikat hak milik (SHM) nomor 20 atas nama pemilik Mukamad dan nomor 21 atas nama Medi.

Lebih lanjut pelapor Nurlaela menerangkan, tanah miliknya dengan bukti SHM nomor 20 atas nama Mukamad dan SHM nomor 21 atas nama Medi itu telah digelapkan oleh Mukamad dan Medi dengan cara menguasainya terus dengan tanpa mau menyerahkan pada dirinya. Mukamad dan Medi juga telah melakukan perusakan terhadap pohon-pohon kayu jenis Akasia Manium dengan cara menebang ratusan pohon kayu serta hasil tebangannya dijual oleh Mukamad dan Medi sehingga dia mengalami kerugian materil sebesar Rp.130.000.000.- (seratus tiga puluh juta rupiah).

Yang menarik dari laporan pengaduan Nurlaela itu, ternyata polisi Polda Banten dengan mudahnya menerima dan serius menyikapinya. Padahal laporan tersebut (menurut Penulis) laporan yang kacau balau, tidaklah patut diterima karena pelapor menggunakan dua alat bukti yang sah berupa SHM milik terlapor, maka sebagai konsekueni hukumnya tanah adalah milik terlapor; Mukamad dan Medi.

Telah berjalan lebih dua tahun ini proses penanganan perkara oleh Subdit II Reskrimum Polda Banten dengan tanpa menghasilkan suatu kesimpulan apapun yang berarti untuk membuktikan kebenaran laporan atau kesalahan pihak terlapor. Bahkan hanya sekedar menjawab pertanyaan sederhana saja “Pada sisi mana perbuatan pidana yang telah dilakukan pihak terlapor sehingga polisi menangani perkara hukum perdata pertanahan?” tidak mampu. Padahal lazimnya jawaban tersebut sudah harus disimpulkan sebelum polisi memutuskan untuk menerima dan menangani laporan.

Pasal 31 ayat (2) PERKAP (Peraturan Kapolri) Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur; “Batas waktu penyelesaian perkara dihitung mulai diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan meliputi: a. 120 (seratus dua puluh) hari batas waktu penyidikan perkara sangat sulit.

 Objek Tanah Sengketa Blok Bungur Dua Cibingbin


Kemudian Nurlaela kembali melaporkan perkaranya di Polsek Cibaliung. Laporan berupa pencurian kayu oleh Medi pada kayu yang ditanamnya sendiri oleh Medi, dirawat sebagai kebun kayu oleh Medi, kayu tumbuh diatas tanah milik Medi yang dibayar pajaknya tiap tahun. Lagi-lagi Polsek menerima juga laporan dengan mudahnya. Alasan polisi ;“Laporan yang diterima Polsek Cibaliung adalah pidana pencurian. Bukan perdata pertanahan,” alasan Penyidik, AKP Triono, Kapolsek Cibaliung.

Apapun alasan pihak Polsek Cibaliung kenyataannya adalah sebagai laporan dan pengaduan yang sama; tentang pencurian kayu, yang dilaporkan oleh pelapor yang sama; Nurlaela, dan terlapor yang sama; Medi, adalah laporan yang sama dengan laporan di Polda Banten. Hanya di Polsek Cibaliung lebih pada persangkaan yang dipertajam dan berorientasi pada penerapan pasal-pasal berlapis, akumulatif dan alternatif dan terlapornya hanya Medi.

Hal ini cukup berlasan jika Penulis berasumsi betapa sangat kerasnya upaya oknum penegak hukum untuk bisa memenuhi kepentingan pihak  pelapor,  hingga berani melakukan segala caranya dengan melawan hukum, bahkan melakukan kriminalisasi dan diskriminasi. Tentu hal itu dilakukannya dengan tidak mukin gratis.

Alasan Penulis menyebut penyelenggaraan hukum yang kriminalisasi; dalam sistem hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia kewenangan yang diberikan kepada intansi Kepolisian adalah menangani perkara-perkara hukum pidana dan tidak diberikan wewenang untuk menangani perkara-perkara hukum perdata. Sedangkan pokok permasalahan hukum yang diadukan Nurlaela merupakan ranah hukum keperdataan.

Menyebut tindakan diskriminasi; oknum aparat hukum telah memberikan perlakuan dan pelayanan yang berbeda kepada pelapor dan terlapor. Layanan kepada pihak pelapor sangat luar biasa istimewanya, berupaya untuk memberikan kepastian hukum sangat dipaksakan, karena pengakuan adanya hak Nurlaela atas tanah milik Medi samasekali tidak berdasarkan hukum yang benar, tidak semestinya juga polisi mengada-adakan kebenaran yang sebenarnya tidak ada bagi Nurlaela. Sedangkan memperlakukan pihak terlapor dengan cara sebaliknya, bahkan hak-hak terlapor telah dilanggar oleh Penyidik Kepolisian.

Hak-hak terlapor itu di antaranya adalah; (1) hak untuk diperlakuan sama dan sederajat dengan setiap orang (siapapun) di muka hukum tanpa memandang perbedaan status sosial dan golongan; (2) kepadanya harus diberlakukan prinsip hukum asas praduga tak bersalah. (3) hak untuk dilayani, dilindung, mendapatkan jaminan kepastian hukum, jaminan keamanan terhadap diri sendiri, keluarga dan harta benda yang menjadi miliknya. Hal itu sebagai hak asasi warga Negara yang dijamin oleh konstitusi dengan tanpa ada kecualinya, artinya tanpa adanya diskriminasi).

Berdasarkan pada fakta-fakta hukum yang ada, dasar hak kepemilikan atas tanah Medi adalah sah menurut hukum yang dapat dibuktikan dengan tiga jalan pembuktian; (1) dengan adanya data otentik berupa SHM nomor 21 atas nama Medi (2) penguasaan objek tanah yang lebih dari tiga puluh tahun Medi mendapatkan hak atas tanah yang dikuasainya dengan tanpa dapat dipaksa untuk menunjukan alas haknya (lihat Pasal 1963 KUHPerdata), dan (3) sebagi warga Negara yang baik Medi sudah menunjukan ketaatannya dalam membayar pajak tanah miliknya.

Tapi Penyidik Kepolisian telah mengesampingkan bukti-bukti kongkrit yang ada pada terlapor, sebaliknya lebih mengakui dan meyakini sebagai alat bukti yang sah dan yang lebih kuat  adalah akta PJB (Pengikatan Jual Beli) yang dianggap alas hak milik atas tanah Nurlaela. Padahal akta PJB  hanya sebagai bukti telah adanya kesepakatan para pihak calon penjual dan calon pembeli tanah (di antaranya) milik Medi. Menurut AKP Triono dalam surat klarifikasi  nomor: B/19/IV/2017/Sektor, akta PJB antara Agung Basuni dengan Nurlaela Binti Almarhum Ahmad Jumadi telah dibuat pada tahun 2014. Sungguh memprihatinkan dan memalukan kondisi mental dan moral (oknum) aparat penegak hukum seperti ini keadaannya.

Atas pembenaran-pembenran yang telah dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Sektor Cibaliung dengan cara yang luar biasa itu, AKP Triono telah menetapkan Medi sebagai tersangka pencurian dan penggelapan kayu-kayu dan tanah terhadap barang yang keseluruhannya sebagai miliknya, dan dituduh menipu pada Pelapor Nurlaela sebagai orang yang tidak  dikenal dan tidak pernah bergaul sama sekali dalam seumur hidup Medi, dengan pasal-pasal berlapis yang diterapkan; Pasal 363, Pasal 372 dan Pasal 378 KUHPidana. Sebagaimana bukti Surat Panggilan Nomor: B/07/IV/2017/Reskrim.

PERMASALAHAN HUKUM PERDATA MURNI

Sejatinya kasus pertanahan Desa Cibingbin yang diajukan oleh pelapor Nurlaela kepada institusi Kepolisian adalah perkara perdata murni yang dapat diuraikan struktur dan unsur permasalahan hukumnya sebagai berikut:

Nurlaela mengaku punya hak atas tanah pada objek tanah yang telah lekat hak kepemilikan Medi yang sah menurut hukum dengan bukti telah adanya SHM nomor 21 atas nama pemilik Medi serta objek tanah yang dikuasai oleh Medi. Nurlaela mengaku mendapatkan haknya dengan jalan membeli dari Agung Basuni, dibuktikan dengan adanya akta PJB yang dibuat pada tahun 2014.

Dari pokok permasalahan tersebut praktis menimbulkan akibat hukum yang keseluruhannya secara terang telah diatur dengan Undang-Undang;

(1) tentang konsekwensi pengakuan adanya hak kepemilikan atas barang yang telah dimiliki orang lain; sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata: “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu pristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakannya itu.”

(2) tenatang batalnya jual beli barang milik orang lain; Nurlaela Membeli tanah milik Medi dari Agung Basuni yang tanpa adanya hak dan kewenangan atas tanah MEDI, sebagaimana diatur dalam Pasal 1471 KUHPerdata; “Bahwa jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.”

3. pembuktian dasar kekuatan hukum yang dimiliki para pihak pelapor dan terlapor.  Sertipikat Hak Milik (SHM) merupakan kekuatan hukum yang terkuat dan terpenuh dalam pembuktian kepemilikan hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 20, disebutkan; “Bahwa hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah ….”. Kemudian dasar kekuatan hukum PJB merujuk pada kaidah hukum yang tetap berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.663. K7/Sip/71, tanggal 6 Agustus 1973, perkara antara: Soeparman vs Notodiwirjo, Majlis Hakim dipimpin oleh Ketua: Prof. R. Subekti, S.H. memutuskan bahwa: “Meskipun perjanjian jual beli tanah sengketa dilaksanakan menurut prosedur perundang-undangan Agraria (Pertanahan), jual beli tersebut harus dinyatakan batal (nietig), karena didahului oleh hal-hal yang tidak wajar atau dengan itikad yang tidak jujur.”

Agung Basuni ternyata telah tidak jujur kepada pihak Nurlaela, bahwa dia sebenarnya tidak pernah melakukan jual beli dengan para pemilik tanah di Blok Bungur Dua, Cibingbin maka praktis PJB tersebut batal demi hukum.

Dengan demikian nyatalah bahwa perkara yang diajukan Nurlaela dan telah diproses hukum oleh institusi Kepolisian Polda Banten dan Polsek Cibaliung yang dianggap sebagai perbuatan pidana hal yang sangat keliru karena substansi permasalahan hukumnya murni merupakan perkara keperdataan. Sedangkan penetapan tersangka terhadap Medi dapat  diartikan sebagai suatu kekerasan hukum berupa tindakan kriminalisasi, diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak asasi warga Negara.

Dakwaan kepada Terlapor Medi dengan menerapkan pasal berlapis; Pasal 363, Pasal 372, dan pasal 378 (menurut Penulis) tidak mungkin bisa dibuktikan. Medi tidak termasuk pada perbuatan menggelapkan tanah dan kayu atau mencuri kayu dengan cara menguasai tanah dan menjual kayu hasil kebun yang ditanam sendiri, dirawat dikebun sendiri dan tumbuh diatas tanah milik sendiri yang dikuasainya lebih dari tiga puluh tahun, dibayar pajaknya tiap tahun, kepemilikan dibuktikan dengan adanya SHM, maka kayu-kayu dan tanah secara keseluruhannya sebagai hak milik Medi yang sah menurut hukum. 

Untuk menetapkan tersangka kepada terlapor Medi, seharusnya penyidik memastikan terlebih dahulu bahwa kayu dan tanah yang didakwakan telah dicuri dan digelapkan oleh Medi adalah kayu dan tanah benar-benar milik Pelapor Nurlaela yang sah menurut hukum, dan hal itu tentunya harus dapat.  dibuktikan pula dengan telah adanya putusan hakim (vonis) pradilan perdata dari Pengadilan Negri Pandeglang (***)
×
Berita Terbaru Update