Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

PENERAPAN KLAUSUL “FORCE MAJEURE” DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN DIMASA PANDEMIK COVID-19

Friday 10 April 2020 | April 10, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-04-10T08:51:39Z
Oleh : SUSANTO

Dosen Magister Hukum Universitas Pamulang

Dalam masa pandemik Covid-19 yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia ini akan mepengaruhi seluruh kegiatan warga negara termasuk dalam kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis pada umunya didahului degan adanya perjanjian bisnis yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Perjanjian yang dibuat secara sah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata akan berlaku mengikat layaknya undang-undang bagi pihak yang telah menyepakatinya.

Dalam kedaan situasi yang tidak terjadi bencana alam, peperangan, huru hara dan situasi rawan lainnya perjanjian bisnis dapat ditunaikan secara baik, andaipun ada akan segera dapat diselesaikan secara baik pula. Permasalahan muncul ketika Covid 19 masuk ke wilayah Indonesia dan penyebarannya semakin hari semakin meningkat dan sampai saat ini belumlah hilang dari Indonesia. Beberapa wilayah bahkan sudah melakukan suatu kegiatan semacam karantina wilayah.

Meskipun pada umumnya pelaksanaan perjanjian bisnis (sebagai contoh jual beli) itu diawali dengan perjanjian, kemudian terbit Purchased Order (PO), dilanjutkan dengan penyiapan barang, selanjutnya pengiriman barang (Delivery Order) dan jika telah diterima muncul tagihan (Invioce) dan terakhir adalah pembayaran (Payment). Jika dalam keadaan normal seluruh proses itu akan mampu dijalankan. Namun dalam pandemik Covid 19 kendala akan muncul.

Misalnya saja dalam proses PO tidak ada kendala karena bisa dilakukan secara online, tahap selanjutnya penyiapan barang. Pada tahap penyiapan barang dan pengiriman barang dalam kondisi tertentu dan wilayah tertentu akan mengalami kendala pada proses pengiriman karena beberapa wilayah melakukan karantina wilayah yang memeriksa kendaraan keluar masuk suatu wilayah hal ini mempegaruhi proses pengiriman yang membuat semakin lama proses pengirimannya.belum lagi jika terdapat kesulitan untuk menghadirkan tenaga kerja kelokasi bongkar muat karena terkendala dimana beberapa pemimpin wilayah menganjurkan Work From Home (WFH).Peristiwa-peristiwa tersebut bisa menjadikan salah satu pihak wanprestasi karena tidak mampu menunaikan kewajiban sesuai yang telah disepakati.
Kembali kepada permasalahan bisakah klausul “Force Majeure” didasarkan adanya Pandemik Covid-19.

Syarat Sah Perjanjian :
Merujuk pada Pasal 1320 KUH Perdata bahwa Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2). Cakap untuk membuat perjanjian. 3). Mengenai suatu hal tertentu. 4). Suatu sebab yang halal. Jika suatu perjanjian telah memenuhi ketentuan tersebut maka demi hukum perjanjian tersebut adalah sah. 

Wanprestasi dan Akibat-akibatnya:
Wanprestasi atau ingkar janji muncul karena : 1). Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya. 2). Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. 3). Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. 4). Melakukan sesuai yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Akibat dari wanprestasi bisa berupa : 1). Membayar ganti rugi. 2). Pembatalan perjanjian. 3). Peralihan risiko. 4). Membayar biaya perkara, jika samapai diperkarakan di depan hakim.

Penerapan Keadaan Force Majeure :
Kedaan memaksa (Force majeure) bisa dijadikan untuk membuktikan perjanjian bisnis tidak bisa dilakukan. Dengan mengajukan pembelaan ini pihak yang wanprestasi harus mampu menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana dia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaa atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian. (Subekti, 2002 : 55).

Keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Dua pasal ini mengatur tentang ganti rugi. Dasar pemikiran pembuat Undang-Undang, ialah : Keadaan memaksa adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.

Dihubungkan dengan adanya Pandemik Covid-19 apakah merupakan suatu keadaan memaksa yang dapat digunakan sebagai alasan bebas dari tanggung jawab dengan alasab karena keadaan memaksa. Adanya Pandemik Covud-19 bukanlah kehendak semua orang maupun pemerintah. Pemerintah telah menjadikan bahwa Covid-19 sebagai virus yang membahayakan jika manusia tersebut tertular dan dapat mengakibatkan kematian oleh karenanya menyampaikan beberapa anjuran maupun ketentuan untuk emnanggulangi penyebaran Covid-19.

Jika keadaan Pandemik Covid-19 akan dijadikan sebagai alasan keadaan memaksa sehingga tidak bisa melaksanakan kewajiban telah dicontohkan oleh pemerintah dengan membuat semacam ketentuan untuk keringanan angsuran pada leasing dan lembaga pembiayaan yang diberikan kepada nasabah yang membeli kendaraan secara angsuran.

Memedomani hal tersebut bisa menjadi rujukan, namun dalam hal perjanjian bisnis yang tidak dibuat secara lengkap dan tidak memuat ketentuan mengenai keadaan memaksa (Force Majeure) pada saat sengketa di Pengadilan Negeri akan kembali kepada keyakinan hakim. Apalagi perkara yang diajukan merupakan sengketa perdata dan berupa perjanjian artinya bukti tertulis menjadi bukti yang diutamakan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara perdata.

Kemungkinannya hakim juga akan memedomani bahwa perjanjian yang telah sah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Oleh karenanya belajar dari Pandemik Covid-19 ini bisa diambil manfaat ketika membuat perjanjian bisnis perlu memperhatikan pencantuman klausul “Force Majeure” dalam perjanjian terutama untuk keadaan memaksa yang disebabkan wabah dan peraturan atau kebjakan pemerintah yang bisa menjadikan perjanjian tidak dapat dilaksanakan.
×
Berita Terbaru Update