Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

RASIONALISASI POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH DALAM PEMAKNAAN LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIORI

Friday 10 April 2020 | April 10, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-04-10T12:13:44Z

OLEH:
Dadang Sumarna, SH.,MH

Dosen: Fakultas Hukum UNPAM 

 Dalam hukum pidana, politik hukum pidana dapat dimaknai sebagai rasionalisasi pemerintah dalam menggulangi persoalan-persoalan masyarakat baik dengan cara kriminalisasi ataupun dengan cara dekriminalisasi, mengingat hal demikian politik hukum pidana dapat dilakukan dalam skala nasional dan skala kedaerahan. Dapat dipahami dari devinisi yang menyebutkan bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom atau disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.

Setiap daerah otonom memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya secara demokratis. Dalam konteks otonomi, kewenangan Pemda ini ditunjukkan dari adanya pemberian kewenangan bagi mereka untuk membuat Perda masing-masing untuk kepentingan masyarakat. Secara normatif, mengatur Perda sebagai peraturan yang berlaku untuk satu daerah otonom tertentu yang dirancang baik oleh Gubernur ataupun oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang kemudian disetujui oleh kedua belah pihak tersebut.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Kemampuan Perda dalam memberikan sanksi ini tentunya tidak juga menegaskan bahwa pembuatan Perda juga dapat dilakukan untuk kebijakan kriminalisasi, seperti tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).” 
selanjutnya pada ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Kemampuan Perda dalam memberikan sanksi ini tentunya tidak terlepas pada ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 yang mengizinkan Perda untuk mengatur ketentuan pidana di dalamnya. Untuk menjaga sinkronisasi antara Perda dan kebijakan pidana nasional, maka pemberlakuan prinsip “lex superior derogat legi inferiori”sudah menjadi syarat mendasar. Prinsip ini mengakibatkan hukum yang kedudukannya lebih tinggi menghapus hukum yang ada di bawahnya, atau dengan kata lain hukum yang lebih rendah tingkatannya harus sesuai dengan ketentuan yang ada di atasnya. Walaupun dalam hal ini, ditekankan bahwa penggunaan prinsip ini juga tetap harus mempertimbangkan aspek kesetaran dengan kekhususan Perda berdasarkan prinsip “lex specialis derogat legi generali”.  Dilain sisi dildalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 776 huruf (a) RKUHP “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: (a) Kualifikasi kejahatan dan pelanggaran yang disebut dalam Undang-Undang di luar Undang-Undang ini atau Peraturan Daerah harus dimaknai sebagai tindak pidana.”

Hemat penulis berdasarkan ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dari sisi aspek materiil hukum pidana atau tindak pidana/perbuatan pidana yang terdapa di dalam Perda kedudukannya diakui pula dalam RKUHP. Selanjutnya peraturan daerah yang memuat sanksi pidana tidak boleh bertentangan dengan KUHP sehingga dengan demikian penerapan saksi pidana di dalam Perda harus di berikan batas dan syarat-syarat tertentu, sehingga marwah tatanan pengaturan tindak pidana dalam Perda berpotensi akan bertentangan dengan RKUHP. merujuk pada Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang memberikan otoritas kepada Perda untuk memuat ketentuan pidana tanpa batas, Perda dapat mengatur tindak pidana yang bersifat umum/independen maupun tindak pidana yang bersifat administratif, bila dihubungkan dengan adanya sangsi pidana dalam penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Skala Besar) dalam menggulangi covid-19 maka penulis berpendapat Pasal 27 Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB Dalam Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta bagi pelanggar PSBB akan dikenakan sanksi pidana.

"Di dalam Pasal 27 Pergub Nomor 33 tahun 2020,  pelanggaran PSBB dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan, termasuk sanksi pidana," terkait sanksi yang termuat di dalam pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan meyebutkan “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)” dari hal tersebut diatas maka harus adanya pembatasan secara jelas ketentuan pidana yang bersifat generic crime, dan membuat tindak pidana yang telah di atur dalam KUHP. selanjutnya harus  adanya penjelasan tentang batas-batas pengaturan pidana dalam konteks generic crime yang sifatnya lokal diatur dalam Perda, serta Perda hanya dimungkinkan untuk memuat ketentuan yang bersifat tindak pidana adminsitratif administrative crime terbatas yang tidak boleh melanggar ketentuan, bahwa dapat di tafsirkan bahwa semakin rendah sifat dari sebuah aturan maka sifat aturan tersebut semakin kongkret dan aturan yang paling tinggi sifatnya adalah universal.
×
Berita Terbaru Update