Oleh Glesos Yoga Mandira, Ketua KPSBN (Komunitas Pelestari Seni Budaya Nusantara)
Ada yang istimewa di hari Selasa lalu Desa Girimulyo, Kecamatan Jogorogo, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di desa lereng Gunung Lawu ini digelar pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Putut Wijanarko S.Sn dari Sragen. Pagelaran wayang kulit ini terasa semakin istimewa, karena diadakan di Pondok Pesantren Al Jannatul Darul Mawa, Condro Mowo yang diasuh oleh KH. Agus Abdul Hamid Syaiful Barnawi.
Ada beberapa hal yang membuat pagelaran wayang ini terasa istimewa. Pertama, pesantren ini merupakan salah satu pesantren salaf paling terkenal di Ngawi. Kedua, wayangan di pesantren mengingatkan bagaimana awal wayang kulit berkembang di Nusantara. Waktu itu, Sunan Kalijaga melakukan pagelaran wayang kulit sebagai sarana siar Islam.
Hal ketiga yang membuat istimewa adalah Anies Baswedan hadir secara virtual dan memberikan sambutan di acara pagelaran wayang dengan lakon Kresna Gugah ini. Uniknya, pagelaran bernama wayangan Malem Rebo Kliwonan ini sama dengan weton Anies Baswedan. Anies memang dilahirkan pada rabu kliwon dalam penanggalan Jawa. Dalam tradisi Jawa, orang yang lahir pada weton Rabu Kliwon memiliki jiwa kepemimpinan yang tangguh dan memiliki kepedulian kepada rakyat kecil.
Acara di Pesantren Condro Mowo ini merupakan kolaborasi antara pihak pesantren dengan Komunitas Pelestari Seni Budaya Nusantara (KPSBN). Agenda pagelaran wayang kulit memang menjadi agenda rutin dari KPSBN untuk melestarikan budaya Nusantara, khususnya wayang kulit yang cocok untuk dijadikan tontonan, sekaligus tuntunan hidup.
Lakon Kresna Gugah sendiri merupakan salah satu lakon populer dalam pagelaran wayang kulit. Lakon ini menceritakan bagaimana awal mulanya perang Baratayuda yang melibatkan Pandawa dan Kurawa. Kresna Gugah menceritakan tentang takdir perang Baratayuda dan siapa yang bakal menjadi pemenangnya.
Dalam lakon Kresna Gugah, diceritakan bahwa siapa yang bisa membangunkan Kresna yang sedang tertidur, dialah yang akan memenangkan perang Baratayuda. Dari pihak Kurawa yang berangat adalah Duryodana, anak pertama dari 100 Kurawa bersaudara. Sementara dari Pandawa yang berangkat adalah Arjuna yang memiliki kedekatan dengan Kresna.
Duryodana datang terlebih dahulu di tempat pertapaan Kresna dan langsung duduk di dekat kepala tuan rumah yang sedang tidur. Arjuna yang datang belakangan berdiri di dekat kaki Kresna. Arjuna, sebenarnya tahu bahwa Kresna tidak tidur. Ruhnya sedang terbang ke khayangan untuk bertemu para dewa. Ruh Arjuna pun kemudian ikut terbang ke khayangan. Di tengah jalan, ruh Arjuna bertemu dengan ruh Kresna dan mengatakan maksud tujuannnya. Mereka berdua lalu turun ke bumi dan kembali ke raganya masing-masing.
Saat ruh Kresna kembali ke bumi dan terbangun, nama pertama yang disapa adalah Arjuna, bukan Duryodana. Maka proteslah Duryodana kepada Kresna bahwa dialah yang datang lebih dahulu. Namun, Kresna menyatakan bahwa saat membuka mata, Arjunalah yang terlihat lebih dahulu. Jawaban ini merupakan bentuk keberpihakan Kresna kepada Pandawa.
Dalam pertemuan ini, Kresna juga menanyakan kepada Duryodana apakah memilih 1.000 raja beserta pasukan atau satu raja saja, yaitu Kresna. Duryodana memilih 1.000 raja, karena terlihat besar. Padahal kekuatan satu raja yaitu Kresna lebih kuat dibanding 1.000 raja yang ditawarkan. Duryodana hanya melihat kuantitas, tidak melihat kualitas. Hal inilah yang menjadi awal kekalahan Kurawa dalam perang Baratayuda.
Pesan yang disampaikan dalam lakon ini adalah siapa pun yang memiliki kebersihan hati dan tidak ambisius dalam mengejar kekuasaan, dialah yang akan mendapatkan berkah dan menjadi pemenangnya.
Cerita di atas mengingatkan pada perjuangan Anies Baswedan dalam upaya maju menjadi pemimpin negeri di Indonesia. Keteguhan hati, kebaikan, dan gagasan adalah modal utama Anies Baswedan menuju kursi presiden. Bukan ambisi untuk meraih menang sendiri. Sebuah awal yang baik untuk mengulangi perjuangan Pandawa yang sempat disia-siakan serta coba disingkirkan. Namun, akhirnya menjadi pemenang di akhir cerita.(spy)