Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Menjadi Bangsa Yang Selalu Kalah

Saturday 23 February 2019 | February 23, 2019 WIB | 0 Views Last Updated 2019-02-23T11:29:05Z

Penulis : Athari Farhani dan Faiqah Nur Aziah

Athari Farhani, (Ketua umum DPC PERMAHI Tangerang), kiri dan Faiqah Nur Aziah, (sekjend DPC PERMAHI Tangerang)

Kita semua menyadari, 3,5 abad lamanya bangsa Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda. Belanda saat menjajah selalu melakukan doktrin bahwa warga pribumi adalah bangsa yang bodoh dan hanya pantas menjadi budak. Tak pelak hal tersebut meninggalkan sebuah sindrom mental inlader. Inlader sendiri berasal dari bahasa Belanda yang berarti pribumi atau masyarakat asli. Belanda membagi stratifikasi kelas masyarakat saat itu menjadi tiga kelompok. Dimana penduduk Hindia-Belanda menurut undang-undang tahun 1854 masuk dalam strata yang paling rendah atau dimasukan semua penduduk pribumi Nusantara tidak disamakan statusnya dengan kelompok Europeanen atau bangsa Eropa saat itu.

Wujud dari mental inlader membuat bangsa kita menjadi tidak percaya diri, tidak yakin dengan kemampuan diri sendiri, selalu menganggap bangsa lain lebih unggul, bagus, berpengalaman serta lebih pintar. Mental inlader berimbas pada mental yang selalu mau dijajah dan dijadikan budak. Diperparah lagi dampak mental inlader ini juga menimpa para pejabat terlebih manakala mentalitas tersbeut bercampur dengan dengan mental feodal yang cenderung gagap memahami batas-batas antara hak milik pribadi dan milik umum.

Menurut Prof. Komarudin Hidayat bahwasanya Secara antropologis ada sebuah teori tentang sebuah bangsa yang tergolong sebagai the defeated culture, dimana sebuah bangsa yang ditakdirkan Tuhan untuk selalu kalah. Akan tetapi kita semua memahami teori tersebut dapat dengan mudah dibantah, karena sesugguhnya Tuhan tidak akan mengubah keadaan atau nasib suatu kaum, jika mereka tidak mau mengubah keadaan atau nasibnya sendiri. Jika sebuah teori tersebut sudah dapat dibantah, mengapa Indonesia menjadi bangsa yang selalu kalah?

Sejatinya persoalan menjadi sebuah bangsa yang kalah tidaklah sesempit itu, namun kalahnya sebuah bangsa disebabkan oleh para pemimpin yang bermental korup, rakus dan meredupnya jiwa nasionalisme dikalangan para elit bangsa ini. Jika memang Negara Indonesia tidak dikelola oleh pemimpin yang tepat, maka bisa dikatakan bahwa negara Indonesia sedang melangkah menuju kenistaan. Bayangkan saja kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) terbaik dunia, 5 diantaranya dimiliki oleh Indonesia. Seperti Emas kualitas terbaik yang terdapat di Papua dan Maluku, Cengkeh Minahasa, Gas Alam yang terdapat dari Kalimantan Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Pulau Natuna,  Kapur Barus Tapanuli, serta Gaharu di Hutan Kalimantan.

Ketika keadaan tersebut tidak disadari oleh wakil rakyat, oleh para pemimpin, dan masyarakat yang ada negara ini, maka Indonesia tidak bisa diselamatkan. Indonesia akan menjadi tuan rumah yang miskin, kelaparan dan pengangguran didalam rumahnya sendiri. Negara-negara maju tentu akan memanfaatkan peluang tersebut, membiarkan Indonesia dalam keadaan terlena dengan kekayaan Sumber Daya Alam yang dimiliki, kemudian memberikan harapan palsu dan memberikan berbagai apresiasi serta pujian.  Negara kaya ini dibikin candu oleh utang yang menjadikannya mandul di arena produksi. Buktinya hingga saat ini negara Indonesia memiliki beban utang luar negeri sebesar Rp.4.395,9 T.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani bahwasannya “Dengan jumlah rasio utang Indonesia saat ini, maka masyarakat Indonesia memiliki beban utang sebesar USD 997 atau sekitar Rp. 13 juta per kepala.”

Dalam persoalan lain, negeri yang luas dan subur seperti Indonesia juga masih ketergantungan soal pangan dengan dunia luar. Sejak sepuluh tahun terakhir hampir 100 triliun Indonesia mengimpor bahan pangan ke negara lain. Artinya ada sesuatu yang salah dari tata kelola atau polarisasi sistem yang diterapkan di Indonesia. Pemaparan tersebut tentunya membuat nafas sesak, dan telinga merah ketika kita sebagai masyarakat mengetahuinya. Sementara bangsa-bangsa lain sedang berlomba membangun masa depan yang gemilang, namun Indonesia justru melakukan hal yang bertolak belakang dengan cita-cita dan tujuan didirikan negara ini, sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD Tahun 1945: melindungi segenap bangsa indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kekhawatiran yang selanjutnya muncul adalah kekuasaan asing yang sudah mulai masuk ke ranah perundang-undangan. Caranya tentu tidak vulgar. Berikut beberapa contoh dimana peraturan tersebut merugikan kepentingan bangsa yang dihasilkan dari bantuan dana-dana asing, diantaranya: UU Migas No 22 Tahun 2001, UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004, UU Energi No 30 Tahun 2007 (Sumber: Indonesia Budget Center, Jurnal parlemen.com), upaya mengamankan kepentingan dengan jalur aturan perundang-undangan dilakukan dengan umpan hibah dan utang. Undang-undang yang lain diantaranya: UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,  dan UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil dan Undang-undang lainya yang berkenaan langsung dengan sektor Migas. Persoalan-persoalan di atas menyebabkan Indonesia terjajah secara ekonomi bahkan sosial.
Tak sampai disitu persoalan lain yang kerap membelenggu bangsa ini juga disebabkan olehnya “political uncertainty” dimana para aktor politik tidak lagi dapat melihat dengan seksama sebuah tujuan politik yang mulia dan kepentingan masa depan bangsa dan negara atau kita menyebutnya terjangkit political myopic. Di perparah lagi dengan krisis moral yang membelenggu para pemimpin bangsa saat ini. Padahal secara sederhana saja harga diri suatu bangsa akan tumbuh manakala pemimpinya memiliki moral, integritas serta kompetensi yang baik.

Maka permasalahan yang terjadi saat ini dibutuhkan kembali sebuah strategi budaya yang besar dan dilaksanakan penuh keseriusan serta perlu adanya pemetaan Sumber Daya Manusia baik yang menyangkut kuantitas maupun kualitas dan Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang dapat tampil sebagai trusted leader dimana pemimpin yang dapat dipercaya karena integritas moral, kompetensi serta visinya yang jauh kedepan untuk membangun bangsa, didukung dengan partisipasi seluruh elemen masyarakat Indonesia, untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat Bangsa Indonesia. Sehingga dengan begitu bangsa ini akan menjadi bangsa yang kuat serta bukan lagi menjadi bangsa yang selalu kalah.
×
Berita Terbaru Update