Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Redaksi halaman

gambar pantai

www newsskri.com. Pedoman Media Siber Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Keberadaan media siber di Indonesia juga merupakan bagian dari kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers. Media siber memiliki karakter khusus sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Untuk itu Dewan Persbersama organisasi pers, pengelola media siber, dan masyarakat menyusun Pedoman

Iklan

Tag Terpopuler

Memaknai Area Undelimited Waters ZEEI – Selat Malaka Serta Hak Dan Kewajiban Negara Para Pihak

Minggu, 02 November 2025 | November 02, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-02T18:09:40Z

Jakarta,newsskri.com 

 Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut sekitar 6,4 juta km², memiliki kepentingan strategis terhadap kejelasan batas wilayah yurisdiksi maritim. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan aspek kedaulatan wilayah NKRI, namun juga dengan berkaitan dengan faktor keamanan, kepastian hukum internasional dan pengelolaan sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Di beberapa wilayah, termasuk Selat Malaka, masih terdapat segmen perairan yang belum disepakati batasnya secara resmi, yang dikenal sebagai undelimited waters atau perairan tak terdelimitasi.

Tentang Undelimited Waters
Konsep undelimited waters muncul ketika dua negara atau lebih memiliki klaim wilayah laut yang saling tumpang tindih tetapi belum mencapai kesepakatan batas resmi. Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, delimitasi batas laut harus dilakukan melalui kesepakatan berdasarkan hukum internasional untuk mencapai hasil yang adil (equitable solution). Pada Pasal 74 dan Pasal 83 UNCLOS 1982, mengatur bahwa selama batas ZEE dan/atau landas kontinen belum disepakati, negara-negara yang berkepentingan wajib mengadakan pengaturan sementara (provisional arrangements of a practical nature) tanpa merugikan hasil akhir dari perundingan. Prinsip ini menegaskan bahwa tidak satu pun negara boleh mengambil tindakan sepihak yang dapat mengubah status quo.

Dalam konteks Undelimited Waters di ZEEI - Selat Malaka, Indonesia dan Malaysia memiliki sejarah panjang sejak ditetapkannya perjanjian antara kedua negara tanggal 17 Maret 1970 yang hanya mencakup batas laut teritorial sejauh 12 mil laut dari garis pangkal, sedangkan batas ZEE dan landas kontinen belum seluruhnya disepakati. Ketiadaan delimitasi yang jelas menimbulkan sejumlah implikasi strategis diantaranya terjadinya tumpang tindih klaim ZEE serta wilayah patroli keamanan laut yang berisiko menimbulkan gesekan antar penegak hukum kedua negara, lemahnya efektivitas pengawasan terhadap kejahatan lintas batas dan pelanggaran lingkungan laut serta ketidakpastian yurisdiksi terhadap kegiatan ekonomi seperti penangkapan ikan, eksplorasi migas dan penelitian ilmiah.

Dari perspektif geopolitik, status undelimited waters di ZEEI - Selat Malaka merefleksikan kompleksitas hubungan antara kepentingan nasional dan stabilitas regional. Ketidakjelasan batas maritim tersebut tidak hanya menjadi isu bilateral antara dua negara pantai, tetapi juga berdampak langsung terhadap keamanan kawasan Asia Tenggara. Sebagai salah satu jalur pelayaran internasional tersibuk di dunia, Selat Malaka memiliki nilai strategis tinggi sehingga menuntut adanya koordinasi dan tanggung jawab bersama dalam pengelolaannya. Kegagalan menjaga keseimbangan antara kepentingan kedaulatan dan kewajiban internasional berpotensi meningkatkan risiko kejahatan lintas batas seperti perompakan, penyelundupan serta pencemaran laut yang dapat mengancam stabilitas dan keamanan maritim regional.

Hak dan Kewajiban Negara Para Pihak
Hak negara pantai dalam area undelimited waters bersifat terbatas karena harus mempertimbangkan hak negara lain yang memiliki klaim tumpang tindih. Oleh karena itu, tindakan eksploitasi sepihak seperti pemberian izin eksplorasi minyak dan gas di wilayah belum terdelimitasi dapat dianggap melanggar asas non-jeopardy (yang berarti tidak merugikan posisi hukum negara lain dalam situasi batas undelimited waters. Sebagaimana diatur pada Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 83 ayat (3) UNCLOS 1982, yang menjelaskan bahwa sebelum tercapai kesepakatan batas, negara-negara harus menghindari tindakan yang “jeopardize or hamper” (mengancam atau menghambat) tercapainya perjanjian final. Dalam konteks hukum laut internasional, asas ini menegaskan bahwa: “Selama proses delimitasi batas maritim belum selesai, negara-negara yang bersengketa tidak boleh mengambil tindakan yang dapat mengubah atau merugikan posisi hukum masing-masing pihak”. Dengan kata lain, tidak ada pihak yang boleh mengambil keuntungan sepihak (misalnya dengan melaksanakan survei/penelitian ilmiah, eksploitasi sumber daya, pembangunan fasilitas dan patroli agresif) di wilayah laut yang masih belum ditentukan batasnya secara sah.

Selanjutnya negara pantai memiliki tanggung jawab hukum dan moral dalam menjaga stabilitas kawasan maritim, terutama di wilayah undelimited waters. Dalam konteks hukum laut internasional, negara pantai berkewajiban untuk menahan diri dari tindakan yang dapat mengganggu proses perundingan batas maritim serta menghormati hak lintas damai (innocent passage) di laut teritorial dan kebebasan navigasi di ZEE. Selain itu, negara pantai juga dituntut untuk bekerja sama secara konstruktif dalam pencegahan dan pengendalian pencemaran laut, peningkatan keselamatan pelayaran, serta penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal di laut. Kewajiban tersebut mencerminkan pentingnya tata kelola maritim yang berbasis pada prinsip kerja sama, saling menghormati, dan kepatuhan terhadap norma-norma hukum internasional.

Langkah Strategis Sesuai UNCLOS 1982 dan Dari Konteks Hankam Maritim
Untuk menjaga stabilitas dan kepastian hukum di kawasan undelimited waters ZEEI–Selat Malaka, beberapa langkah strategis yang dapat memperkuat posisi Indonesia dalam menjaga hak maritimnya sekaligus memenuhi kewajiban internasional sebagai negara pantai antara lain dengan penerapan provisional arrangements yang mencakup mekanisme patroli bersama, zona penangkapan ikan bersama (joint fisheries management), percepatan negosiasi bilateral antara Indonesia dan Malaysia dengan menggunakan prinsip equidistance (Asas Garis Sama Jarak) yang berarti bahwa garis batas maritim antara dua negara ditarik pada jarak yang sama dari garis pangkal (baseline) masing-masing negara atau asas special circumstances untuk menyesuaikan atau memodifikasi penerapan garis sama jarak (equidistance line) agar hasilnya lebih adil dan wajar (equitable), sebagaimana diatur pada Pasal 15, Pasal 74 ayat (1), dan Pasal 83 ayat (1) UNCLOS 1982.

Dalam konteks pertahanan dan keamanan maritim, penguatan diplomasi maritim Indonesia menjadi elemen strategis yang tidak terpisahkan dari tugas TNI, khususnya Pusat Informasi Maritim (Pusinfomar) TNI sebagai Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) untuk mengoptimalkan sistem pantauan maritim terpadu guna mendukung deteksi dini terhadap potensi pelanggaran di wilayah Undelimited Waters atau grey zone. Upaya ini tidak hanya sebagai instrumen peningkatan transparansi aktivitas maritim yang dilakukan negara para pihak, tetapi juga memperkuat posisi diplomasi pertahanan Indonesia dalam menjaga kedaulatan, menegakkan hukum laut serta memastikan stabilitas keamanan di kawasan strategis nasional dan regional.

Kesimpulan
Indonesia memiliki kepentingan strategis terkait kejelasan batas yurisdiksi maritim, baik untuk menjaga kedaulatan, kepastian hukum, keamanan, maupun pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan. Belum adanya kesepakatan batas antara Indonesia dan Malaysia (undelimited waters di ZEEI–Selat Malaka) menimbulkan implikasi strategis seperti tumpang tindih klaim, potensi gesekan patroli, dan lemahnya pengawasan terhadap kejahatan lintas batas. Berdasarkan UNCLOS 1982 Pasal 74 dan 83, negara pantai wajib menahan diri dari tindakan sepihak dan melakukan pengaturan sementara (provisional arrangements) tanpa merugikan posisi hukum pihak lain sesuai asas non-jeopardy. Oleh karena itu, Indonesia perlu memperkuat diplomasi maritim, mempercepat negosiasi batas serta mengoptimalkan peran TNI dalam hal ini Pusinfomar TNI dalam pemantauan maritim terpadu sebagai deteksi dini terhadap potensi pelanggaran guna menjaga stabilitas keamanan, menegakkan hukum laut internasional dan melindungi kepentingan nasional di kawasan strategis Selat Malaka.
Sumber Referensi:
1. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.( H.M.Qemar Karim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update