Oleh:
Mareti Waruwu
Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Dewan Pimpinan Cabang Tangerang ( Kepala Divisi Pendidikan, Pelatihan dan Pengkajian Hukum Lembaga Keadilan dan Bantuan Hukum Epistema |
Pada tahun 2016, jumlah kasus korupsi di Indonesia mencapai 482 kasus dengan 1.101 tersangka dan jumlah kerugian negara sebesar 1,4 Triliun. Sedangkan pada tahun 2017, jumlah kasus korupsi semakin meningkat menjadi 576 kasus dengan 1.298 tersangka dan jumlah kerugian negara sebesar 6,5 Triliun. Kemudian pertanggal 31 Mei 2018, di tahun 2018 KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi mencapai 306 kasus.
Adapun kasus korupsi tersebut terjadi pada instansi pemerintahan desa, pemerintahan kabupaten, pemerintahan kota, Kementerian dan BUMN dimana sektor anggaran yang dikorupsi adalah anggaran desa, pemerintahan, pendidikan, transportasi dan sosial kemasyarakatan. Data tersebut menunjukkan begitu cepatnya pertumbuhan kasus korupsi di negeri bawah angin ini. Apakah karena tanahnya yang subur, tentu saja hanya elemen apatis atau tikus-tikus rakyat yang mampu menjawab.
Fenomena kasus korupsi di Indonesia yang semakin meningkat, membawa kita kepada pengertian akan semakin mundurnya demokrasi dan semakin menurunnya integritas elemen bangsa. Sejatinya demokrasi ialah pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara, yang sering juga disebut pemerintahan rakyat sebagaimana konsep Abraham Lincoln yang memposisikan pemerintah itu berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Itulah sebabnya jika kasus korupsi membuat mundurnya demokrasi maka fenomena tersebut pula yang membuat mundurnya pemerintahan rakyat yang berintegritas. Pemerintahan rakyat yang dimaksud ialah pemerintahan yang diwakilkan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara yang terbagi menjadi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Fenomena kasus korupsi mantan Ketua DPR, para Kepala Daerah, para Anggota DPRD, para mantan Menteri, Hakim, Jaksa, Advokat, dan lain-lain menjadi sebuah bahan pertimbangan akan mundurnya demokrasi dan menurunnya nilai integritas. Fenomena kasus seperti ini dapat menjadi embrio menuju oligarki kapital yang berkelanjutan dan berbudaya. Ruang demokrasi akan dianak-tirikan telah menjadi kelihatan, mulai dari suhu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Artinya demokrasi akan menjadi jalan tengah bagi pihak-pihak tertentu dalam melahirkan oligarki kapitalnya. Apabila mengintip sejarah maka sistem pemerintahan oligarki pernah diterapkan di Uni Soviet dan Aparteid Afrika Selatan.
Kasus korupsi yang cukup fenomenal terjadi di Indonesia mestinya menjadi catatan sejarah penting bagi rakyat Indonesia dalam mendelegasikan wakilnya di pemerintahan rakyat. Masyarakat harus mampu menjadi sejarawan dalam memilih negarawan, karena tanpa demikian maka representatif rakyat itu akan bermetamorfosis menjadi tikus serigala bagi rakyatnya, apalagi dalam waktu dekat Indonesia kembali menggelar pesta demokrasi. Selain itu, cara ini pula dapat menjadi solusi alternatif dalam mencegah lahirnya oligarki kapital di negeri Indonesia. Oligarki kapital ialah kelompok individu yang menggunakan kekayaan dalam menentukan kebijakan politik dan memilih pejabat publik.
Fenomena kasus korupsi dapat pula menjadi tolak ukur bahwa saat ini Indonesia seolah-olah sedang bersiklus dalam pemerintahan oklokrasi. Adanya aturan yang membebaskan mantan koruptor dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif ialah akibat dari pemahaman implementasi kedaulatan rakyat yang sebebas-bebasnya, sehingga pengisian jabatan-jabatan kekuasaan dalam pemerintahan diisi oleh orang-orang kotor, jahat, dan sebagainya yang pada akhirnya penyelenggaraan pemerintahan dapat dilakukan semena-mena atas keinginan individu dan tidak lagi didasarkan kepada hukum sebagaimana amanat Konstitusi negara.
Sumber Data:
http://antikorupsi.org/id/content/2017-jumlah-kasus-korupsi-menanjak
http://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi