Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

PARADOX PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA SEBAGAI PARAMETER RESILIENSI

Friday 4 November 2022 | November 04, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-11-04T08:27:51Z

Jakarta,newsskri.com

Situasi ekonomi global sedang dilanda krisis besar dan berdampak dahsyat. Bila situasi ekonomi dunia itu diibaratkan sebuah pesawat besar dengan empat mesin, maka ada tiga mesin bermasalah: Amerika, Eropa, dan China. Kita sebagai penumpang pesawat tak bisa mengharapkan pesawat terbang mulus sampai tujuan. Itulah fenomena krisis global saat ini.

Yang menarik, apa yang dunia alami saat ini merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi. Krisis-krisis besar di masa lalu lebih banyak diakibatkan oleh krisis keuangan dan solusinya sudah kita hafal.

Saat ini kita alami krisis yang beruntun, berdekatan, bahkan sebagian pengamat ekonomi menyebutnya sebagai krisis yang terjadi simultan.

Bila kita menggunakan pertumbuhan ekonomi sebagai parameter resiliensi, maka ekonomi Indonesia dinilai resilien. Indonesia mengalami pertumbuhan negatif pada 1998-1999 dan pada 2020 ketika Covid-19 menerjang. Bila sumber masalah datang dari luar, Indonesia bisa selamat. Namun, bila masalah datang dari dalam, kita kehilangan resielen itu.

Hal ini disampaikan dosen Universitas Paramadina  Wijiyanto Samirin dalam Diskusi Panel Global Economy: Reflection and Challenges for Indonesia Post G-20 Presidency di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Rabu (2/11/2022).

Apakah ekonomi Indonesia resilien? Itu pertanyaan penting yang diajukan Wijiyanto Samirin. Memang tingkat inflasi di Indonesia jauh lebih rendah dibanding negara maju dunia.

Mengutip data dari Harvard University tentang Product Complexity Index (PCI), terlihat pada tahun 2000, Indonesia berada di ranking ke-59. Urutan itu turun menjadi 67 pada 2020.

"Yang mengkhawatirkan, pada saat itu, tren PCI negara lain justru meningkat. Singapura dari 11 menjadi 5, Korea Selatan dari 20 menjadi 4, Malaysia naik 3 poin, Thailand naik 8 rank, Vietnam naik 41, Kamboja naik 40. Situasi kita saat ini di bawah Vietnam dan hampir dilewati Kamboja," ungkap Wijanto.

Ternyata Indonesia tak banyak melakukan perdagangan internasional dengan negara lain. "Jangan-jangan Indonesia tidak melakukan International trade dengan banyak negara, karena apa yang mau kita jual? Hanya CPO, batubara, dan gas. Itu andalan ekspor kita. Kita alami masalah serius dengan Indeks Kompleksitas Produk kita," ujar Wijanto.

Ekspor-impor Indonesia dibandingkan dengan GDP-nya hanya 39,6 persen. Sementara, rerata ekspor-impor dunia sekitar 56 persen. Filipina 70,6 persen, dan Thailand 121 persen. "Jangan-jangan kita resilien karena alasan yang salah, yaitu tidak melakukan perdagangan.

Hal lain yang dicatat Wijanto, utang publik Indonesia naik, dari Rp 2.700 triliun pada 2014 menjadi Rp 7.400 pada 2022. "Jangan-jangan, yang menjadi kontributor pertumbuhan ekonomi kita beberapa tahun terakhir adalah utang. Utang itu tak sustainable. Dalam jangka pendek, kita aman. Bukan pada jangka menengah dan jauh," katanya.

Sebagai Presidensi G-20, Indonesia menduduki ranking ke-16 ekonomi dunia. Walau demikian, Indonesia, India, Afrika Selatan dan Brazil bukan negara kaya. Sehingga Indonesia tak boleh lupa pada pekerjaan rumahnya. Akan menjadi lebih bagus bila dalam G-20 ini Indonesia mengangkat isu-isu nasionalnya.

Paradoks pertama Indonesia adalah skor PISA, yang mengukur kemampuan anak berusia 15 tahun dalam sains, matematika, dan membaca di Indonesia hanya menempati ranking 71 dari 77 negara.

Paradoks kedua, pendapatan (income) Indonesia yang rendah dan sangat timpang, sehingga sangat realistik menggunakan pengukuran ketimpangan kekayaan (wealth) dan bukan income.

Paradoks ketiga ketika Indonesia menjadi Presidensi G-20 adalah tingginya stunting akibat kekurangan gizi pada anak di bawah 5 tahun, di Indonesia. Generasi stunting tak bisa kompetitif dan gampang sakit.

Sementara bila melihat  Education Index, Indonesia berada di urutan 98 dari 161 negara. Bila memakai Human Development Index, maka data penting lain seperti stunting akan diabaikan dalam indeks.

Indikator lain yang dianalisis Wijanto adalah maternal mortality, infant mortality, dan democrasy.

Kalau pemimpin terlalu fokus pada ekonomi, dia akan mencari cara-cara cepat. Kalau kita terlalu fokus pada GDP, maka sektor penting lain akan diabaikan.

Senator Amerika, Robert Keneddy pernah berujar, GDP itu terlalu mengukur banyak hal, kecuali hal-hal yang penting.  (Sopyadi)
×
Berita Terbaru Update